Friday, December 24, 2010

Hadiah, Natal dan Santa (Bag.1)

Sebetulnya agak sedikit bete juga ya menikmati malam natal dengan bekerja, istilah saya sih melacurkan suara. Tapi tak apalah anggap impasan dengan tak adanya kegiatan yang harus saya lakukan juga di liburan panjang ini.

Natal identik dengan 2 hal buat saya. Santa dan Hadiah. 2 hal yang satu dan yang lainnya saling sambung. Katanya sih Santa itu tukang bagi-bagi hadiah buat anak-anak yang percaya sama semangat natal. Tapi lebih seringnya sih hadiah Santa itu hanya didapat sama anak yang baik. Duh Santa kok rasis banget sih? hihihi

Satu hal yang paling saya suka dari natal, saya bisa menikmati banyak film bagus yang seakan para pengasuh acara televisi berebutan buat muter di stasiun tv mereka. Acara tv yang biasa disuguhi lakon si kaya versus si kaya atau lakon para artis menebar syahwat mereka, beralih menjadi film-film box office yang paten. Bolehlah kalau di lebaran atau Ramadhan ada berkah Ramadhan maka ini saya sebut sebagai berkah Natal.

Iya, saya muslim. Tak perlu anda ragukan itu. Atau paling tidak saya tetap menjalankan kewajiban saya yang 5 waktu itu ditambah (kalau sedang tidak malas) wajib lapor lainnya. Lalu kenapa kalau saya muslim dan saya menikmati masa Natal? Apa dengan begitu berarti kemusliman saya harus diragukan? Apa dengan begitu saya bukan golongan yang bakal masuk surga?

Saya memang bukanlah jebolan pesantren sekelas Tebu Ireng, atau Suryalaya. Saya juga bukan orang yang kuliah di Universitas Exclusif model IAIN atau UNISBA di Bandung yang memang mengkhususkan pelajaran agama Islam dalam kurikulumnya. Saya hanyalah saya. Yang lahir, hidup dan mungkin meninggal di Indonesia. Negeri yang selalu dengan bangganya mengatakan Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Negeri yang katanya sebagai laboratorium dari keharmonisan kerukunan beragama.

Namun entah mengapa negeri ini menjadi negeri yang justru dengan suka citanya sibuk mencari perbedaan. Menjadi negeri yang dengan pongahnya mengatakan kekerasan atas nama agama adalah jalan terbaik hidup berkebangsaan. Menjadi negeri yang ulamanya atau paling tidak organisasi ulamanya justru mendukung setiap kegiatan memberanguskan keyakinan umat agama lain.

Sedih rasanya ketika banyak dari golongan tertentu yang harus merasa terusik oleh yang lain. Kenapa kita harus takut menjadi pencuri hanya kerana bergaul dengan pencuri? Rupanya kita lebih takut ada pencuri akidah daripada pencuri yang berjubah dan berlabel kyai namun selalu sibuk mengambil apa yang bukan haknya. Kita lebih rela membiarkan Islam yang saya tahu pasti sebagai agama yang cinta damai terkotori oleh pikiran busuk.

Rasanya saya rindu Gus Dur dan Cak Nur setiap natal tiba. Bagi saya merekalah Santa sesunggunya. Mereka mampu memberikan cinta, sebuah hadiah yang paling berharga pada orang-orang yang berbeda. Hadiah yang justru dipersembahkan pada mereka yang sekarang ini kita takuti.

No comments: