Friday, January 18, 2013

Indonesia Bukan India (Betapa lupa datang begitu mudah)

Bukan cuma India yang lagi dihebohkan dengan kasus pemerkosaan. Indonesia juga lagi ngalamin hal yang sama. Terutama setelah adanya berita soal RI (11) yang meninggal dan dikabarkan mengalami kekerasan seksual. Namun, ada yang berbeda apa yang terjadi di India dan di Indonesia.


Di India, pasca meninggalnya seorang mahasiswi setelah sebelumnya ia menjadi korban pemerkosaan, semua masyarakat India bersuara keras soal kasus ini. Bukan hanya masyarakat biasa tapi juga para selebritis dan juga para pejabat negara. Semua sepakat untuk mengutuk keras tragedi ini. Enggak cukup samapai di sana, hukuman mati bagi para pemerkosa inipun diamini semua lapisan masyarakat untuk dijatuhkan pada para pemerkosa.

Lain di India lain pula di Indonesia.

Di Indonesia kasus pemerkosaan seolah cuma jadi berita angin lalu saja. Kalah heboh dan hebatnya dibandingkan dengan berita nomor urut partai politik atau mungkin juga berita kasus korupsi Hambalang. Opini soal kasus inipun terbagi dua.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ngotot agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan hukuman mati bagi para pemerkosa. Di sisi lain malahan tuntutan KPAI ini dijawab dengan becandaan ala calon Hakim Agung.

Pernyataan ini terlontar dari mulut M. Daming Sunusi saat ditanya salah satu anggota Komisi III DPR dalam fit and proper test calon Hakim Agung, terkait soal hukuman mati untuk pemerkosa. Pak Daming Sunusi menolak pemberian hukuman mati untuk pemerkosa karena menurutnya, “”Yang diperkosa dengan yang diperkosa ini sama-sama menikmati. Jadi harus pikir-pikir terhadap hukuman mati”. Pernyataan ini , langsung mengundang gelak tawa, termasuk sejumlah anggota Komisi III.

Apa yang dikatakan oleh calon hakim agung ini kontan saja mendapat tanggapan dari banyak kalangan.
KPAI, Komisi Yudisial (KY) dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PP&PA) adalah lembaga-lembaga yang dengan tegas menolak apa yang disampaikan oleh calon hakim agung tersebut. Malahan beberapa anggota DPR juga menyatakan penolakan terhadap apa yang diutarakan oleh Hakim Daming.

Permohonan maaf atas “bercandaan” tersebut memang keluar juga dari mulut pak hakim. Tapi terlambat. Usai pernyataan itu terlontar, banyak kalangan masyarakat yang mendesak agar DPR ngga meloloskan Pak Daming jadi Hakim Agung. Bahkan Komisi Yudisial, sebagai pengawasa para hakim, ikut memanggil Pak Daming untuk meminta keterangan terkait pernyataannya itu.

Namun,  enggak semua orang kontra dengan Hakim Daming.

Anggota Komisi III Martin Hutabarat mengatakan bisa memahami pernyataan calon Hakim Agung Muhammad Daming Sunusi. Malahan Pak Martin bilang hukuman mati bagi pemerkosa juga enggak perlu ada. Yang penting adalah hukuman berat.

“Pernyataan itu dapat dipahami, sebab ada juga pemerkosaan itu dilakukan dalam keadaan mabuk, ikut-ikutan, atau anak-anak remaja yang tergoda oleh penampilan yang merangsang dari wanitanya dan sebagainya,” kata anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat.

Menurut Martin perbuatan bejat (pemerkosaan) seperti itu harus dibedakan dengan pemerkosaan yang disertai pembunuhan atau mengakibatkan meninggalnya korban perkosaan seperti yang terjadi di India dan ramai diberitakan minggu lalu.

Terhadap perkosaan karena mabuk, pengaruh obat dan sebagainya, Martin setuju pendapat yang menyatakan tidak perlu dihukum mati, tapi harus dihukum seberat-beratnya.

“Misal dihukum 20 tahun atau kalau perlu hakim berani membuat terobosan berupa hukuman seumur hidup, Tapi tidak perlu dihukum mati,” kata Pak Martin.

Pak Martin punya alasan kenapa kasus pemerkosaan enggak harus dihukum mati. Katanya, kondisi kota besar kayak Jakarta banyak perempuan yang  sudah tak mementingkan keperawanan juga menjadi pertimbangan hakim untuk memutus perkara perkosaan.

“Di banyak kota besar seperti Jakarta berdasarkan hasil survei wanitanya hampir 50 persen sudah tidak perawan lagi. Hal ini menjadi faktor penilaian hakim dalam memutus suatu perkara, sehingga tidak sampai menghukum mati seorang pemerkosa yang perbuatannya hanya terbatas perbuatan bejat, itu saja,” imbuh anggota Komisi III ini.

Hmmm…..kemarinnya dibilang kasus pemerkosaan dijadikan bahan becandaan. Sekarang dibilang enggak masalah karena korban sudah enggak perawan lagi. Kalau kata Sobat Teen gimana?

========
Tulisan ini dimuat di www.teenvoice.co.id

Ada hal yang enggak bisa saya tuliskan di web itu. Maklum pembacanya anak-anak. Oke sekarang waktunya.
Sumpah, saya enggak habis pikir dengan orang-orang kita. Kalian bisa menjadikan hal perkosaan sebagai bahan becandaan? Gimana rasanya kalau yang diperkosa itu anak perempuan kalian? adik kalian? apakah kalian masih bisa tertawa selapas itu?
Jika memang perempuan sudah tidak perawan lago, apa artinya dia boleh diperkosa? Dia boleh dilecehkan harga dirinya? Jika perempuan yang sudah tidak perawan itu adalah anak perempuan kalian, adik perempuan kalian atau malah ibu dan istri kalian, apakah bisa cengiran dan kata maklum itu keluar dari mulut kalian?
Ini yang disebut budaya timur nan agung? Ketika kejahatan terus terjadi pada perempuan, selalu yang kalian tuding perempuannya. Hanya karena kalian enggak bisa menyarungkan sahwat kalian lalu kalian bisa tertawa begitu saja?
lepaskan, tolong lepaskan tasbih itu dari tangan kalian. Sorban itu dari bahu kalian atau peci itu dari kepala kalian. Tolong....lepaskan!!!!